Minggu, 31 Maret 2019

[Bunsay-Komunikasi Produktif] Berenang, Blub...blub...blub...

Game Level 1 - Komunikasi Produktif - Hari 4

Berenang adalah salah satu hal yang ditakuti oleh Kakak sejak kecil. Dia senang main air, tapi kalau disuruh menyelam, wow dijamin akan menolak dengan super tegas.

Ketika mulai sekolah di SD, kebetulan ada pelajaran renang setiap pekan. Saya selalu dapat laporan kalau setiap mulai berenang, Kakak selalu menangis dulu walaupun akhirnya mau juga disuruh turun ke kolam renang.

Di kelas 2 SD, akhirnya saya menemukan guru kursus renang perempuan yang kebetulan juga gurunya di sekolah, jadi gak perlu susah-susah kenalan dan adaptasi lagi. Perlahan-lahan Kakak menunjukkan perkembangan dalam renangnya. Alhamdulillah sudah tidak takut lagi menyelam, tetapi PR-nya sekarang adalah berani lepas papan renang.

Sabtu kemarin adalah hari berenang seperti biasa, tetapi guru renang sedang berhalangan hadir. Jadi Kakak dan Adik berenang didampingi oleh saya dan Abinya anak-anak.

Kakak sudah mulai berani menyelam tanpa papan renang, tapi harus merapat di tepi kolam, atau di bagian tangga kolam yang sangat dangkal. Saya mencoba menantang Kakak untuk berenang lebih ke tengah, kebetulan kedalaman kolamnya hanya 0,5 meter.

"Sekarang Kakak coba berenang dari tepi sini ke tepi sana," kata saya sambil menunjuk sisi kolam yang berlawanan.

Wajah Kakak langsung memelas lalu dia menggeleng, "Aku takut."

"Kakak bisa. Mama liat Kakak sudah bisa menyelam lima detik. Kalau Kakak berenang dari sini ke tepi sana juga sama lima detik."

"Gak mau, aku gak bisa."

"Kakak bisa kok, hanya perlu berani aja."

Ternyata dia tetap tidak mau. Hmmm... baiklah, percobaan pertama MENGUBAH KATA TIDAK BISA MENJADI BISA belum berhasil, tetapi semoga kata-kata "Kakak bisa" tadi akan tertanam di benaknya.

#Hari4
#GameLevel1
#Tantangan10Hari
#KomunikasiProduktif
#KelasBundaSayang



Sabtu, 30 Maret 2019

[Bunsay-Komunikasi Produktif] Sholat, Yuk!

Game Level 1 - Komunikasi Produktif - Hari 3

Di usianya yang hampir 8 tahun, Kakak Ey sedang dibangun kesadarannya untuk sholat lima waktu. Jujur saja, perkara menyuruh sholat ini menjadi salah satu hal yang sering membuat saya emosi.

Sholat Dzuhur sudah rutin dilakukan di sekolah, jadi PR saya mengingatkan untuk Sholat Subuh, Ashar, Maghrib, dan Isya'.

Terakhir kali saya tersulut emosi menyuruhnya sholat sekitar seminggu lalu, saat waktunya Sholat Maghrib. Kebiasaan makan sambil main (ini akan jadi bahan komprod di hari lain) membuat Kakak dalam 1 jam belum selesai juga makannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.45, waktu Maghrib sudah hampir habis. Saat itu saya dalam keadaan letih karena baru pulang dari kantor, jadi tidak bisa mengingatkan sejak awal waktu. Sekali, saya meminta Kakak untuk cepat-cepat menyelesaikan makannya agar bisa sholat. Dua kali, makannya sudah selesai tapi dia masih santai-santai di kamarnya. Ketiga kalinya, saya sudah gemas apalagi melihat jam sudah menunjukkan pukul 19.00. Saya mulai memasang nada tinggi dan menyalahkan kakak yang lama sekali makannya. Kemudian terdengar adzan Isya'. Saya telah gagal mengingatkan dia Sholat Maghrib plus energi habis karena emosi 😭.

Dua hari yang lalu, saya memutuskan untuk langsung mengingatkan ketika kakak mulai makan malam.

INGATKAN SEJAK AWAL WAKTU, BUKAN MEMERINTAH, DENGAN INTONASI RAMAH.

"Kakak, sekarang sudah jam 17.30, nanti jam 18.00 adzan Maghrib. Kakak makan lebih cepat ya supaya sholat Maghribnya gak terlewat."

"Iya, iya, Ma."

Kayanya dia udah bosen diingetin sholat terus 😅.

Jam 18.00, makannya sudah selesai.

"Aku mau sholat ya, Ma"

😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭

Alhamdulillah, memang harus pake strategi cantik kalau mengingatkan Kakak sholat. Ingetinnya jangan mepet, jangan pake nada merintah, dan harus pake nada penuh kasih sayang.

Semoga Kakak bisa istiqomah sholat 5 waktu tanpa diingatkan lagi, dan Mama istiqomah ngingetin sholat gak pake marah-marah.

#hari3
#gamelevel1
#tantangan10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang




Jumat, 29 Maret 2019

[Bunsay-Komunikasi Produktif] UANGKU HILANG!

Game Level 1 - Komunikasi Produktif - Hari 2

Setiap Lebaran, anak-anak selalu dapat uang angpau pemberian dari kakek-nenek dan om-tantenya, sudah jadi tradisi lama di keluarga Abinya. Karena keluarga besar suami emang beneran besar (sepupunya banyak banget nget nget), 1 kali Lebaran tiap anak bisa dapet 200-300ribu, tentunya jumlah yang sangat besar untuk anak seumuran kakak dan adik.

Waktu masih belum mengerti gunanya uang, angpau-angpau kakak selalu saya tabung di rekening bank atas namanya sendiri. Sejak tahun kemarin, kakak udah ngerti gimana senengnya nerima uang. Uang bisa beli permen, bisa beli mainan 😅. Jadi hepi banget deh itu uang pengennya dipegang terus sama dia. Hmmmm...oke mama berpikir mungkin kakak mulai saatnya dipercaya untuk memegang uang, dengan catatan pisahkan uang yang ingin diinfak, ditabung, dan dibelanjakan.

Karena dia belum tahu uangnya akan dibelikan apa, jadi uangnya selalu disimpan di laci, hampir setiap hari dibuka, dihitung-hitung sambil pura-pura jual-beli sama adiknya 😅. Sekalian kenalan dan belajar hitung uang lah ya.

Sampai suatu hari, tiba-tiba dia bilang pengen buku tulis diary yang ada gemboknya *wadidawww mulai mau nulis diary yang gembokan nih*.

"Ya udah, kakak kan punya uang sendiri."

Matanya langsung berbinar-binar lalu dia melesat ke kamar mau ambil uangnya. Gak lama dia keluar lagi, "Ma, uangku di mana ya? Kok ga ada di laci?"

"Lho, Mama gak pernah simpan. Kan kakak yang selalu pegang. Coba dicari dulu di atas meja dan di laci-laci lain."

Bongkar-bongkar laci, tumpukan mainan, sampai selipan buku-buku, gak ketemu juga.

JRENG JRENG.

200 ribu hilang.

Insting ngomel mulai muncul. Saya menduga setelah dia bermain-main dengan uangnya, sepertinya dia lupa menyimpan kembali ke laci lalu dibereskan oleh sang Mbak ART bersama tumpukan mainan lainnya.

But wait, FOKUS PADA SOLUSI, BUKAN MASALAH.

"Coba kakak tanya Mbak Fitri, lihat dompet uang kakak ga?" tanya saya sambil masih berharap memang sang Mbak yang menyimpankan di tempat lain.

Ternyata setelah ditanya, sang Mbak gak ingat pernah membereskan dompet kakak. Setelah membantu mencarikan pun tetep gak ketemu.

Saya cuma menghela napas. Kayanya hilang beneran nih. Sementara Kakak terlihat bingung dan sedih.

"Kayanya uangnya hilang ya, Kak. Jadi Kakak belum bisa beli buku diary."

"Terus gimana dong, Ma. Aku pengen banget banget banget beli buku itu."

"Ya kakak tunggu sampai dapat uang lagi."

"Lebaran masih lama ya, Ma?"

"Masih beberapa bulan lagi. Nanti kalau dapat uang lagi, Mama aja yang simpan ya. Nanti kalau Kakak sudah belajar tertib dan rapi baru boleh simpan uang sendiri lagi."

Kakak terlihat ragu-ragu, tapi akhirnya setuju juga.

Bye-bye 200 ribu, memang belum rezekinya Kakak. Atau kalau memang rezeki, mungkin masih terselip di suatu tempat di kamar Kakak ya 😌.

#hari2
#gamelevel1
#tantangan10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang





Kamis, 28 Maret 2019

[Bunsay-Komunikasi Produktif] Cerita Kakak

Game Level 1 : Komunikasi Produktif - Hari 1

Bismillah...

Alhamdulillah datang juga momen tantangan Kelas Bunda Sayang yang pertama, yaitu tentang Komunikasi Produktif. Untuk Game Level 1 ini, saya memilih si anak sulung, Kakak Ey (7th), sebagai partner latihan 😁.

Saya mulai dengan salah satu poin Komunikasi Produktif yang paling mudah, yaitu:

Observasi, bukan Interogasi

Mengapa mudah? Karena selama ini memang mudah memancing Kakak Ey untuk cerita pengalaman atau perasaannya tanpa harus mencecar atau menginterogasi. Faktor anak perempuan kali ya, hehe...

Menanti cerita kakak tentang kegiatannya di sekolah sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Dari awal sih saya memang tidak pernah bertanya "kakak belajar apa tadi?", "kakak ada PR apa?" (karena emang belum dikasi PR). Karena saya biasanya baru sampai rumah beberapa jam setelah kakak pulang sekolah, observasi dari ekspresi tentunya sulit karena mungkin saat itu moodnya sudah berbeda dari saat baru sampai di rumah. 

Biasanya saya memulai dengan bertanya, "Apa yang seru tadi di sekolah, Kak?". Walaupun bentuknya pertanyaan, Kakak tidak merasa diinterogasi karena dia malah semangat untuk mengingat-ingat dan menceritakan kejadian serunya di sekolah. 

Seperti biasa, kemarin saya menanyakan ada kejadian seru apa di sekolahnya. Dari satu pertanyaan langsung mengalir beberapa topik cerita:

"Tadi Physical Educationnya susah banget, sikap lilin sama bridge, kakinya harus lurus."
"Tadi temen kakak tuh ada yang iseng, suka pura-pura marahin. Aku sebel."
"Table aku sekarang berubah mah, sekarang aku jadi sebelahan sama teman yang iseng itu. Tapi aku jarang ngobrol sama dia, ngobrol sama Aisha aja."
"Anak boys tuh ngobrol mulu kalau ustadzah lagi ngajarin, jadi ditegur sama ustadzah."

Di hari lain, pernah dia membawa hasil crafting bantal kecil dari sekolah.
"Kakak buat ini sendiri?"

"Iya aku tadi belajar jahit. Aku udah bisa loh mah. Aku mau dong menjahit lagi di rumah."

"Wah kakak bisa masukin benangnya ke dalam jarum?"

"Dibantu sama ustadzah, kalau masukin benang aku belum bisa. Susah."

"Oooooh, oke nanti mama bantu dulu masukin benangnya kalau kakak kesusahan."

Terus lanjut jaitin kaki bonekanya yang udah robek 😁. Hasil jahitan masih miring-miring, tapi dia bangga banget bisa benerin bonekanya. 


Karena informasi topik pelajaran rutin saya terima tiap pekan dari gurunya, dan kakak juga masih kelas 2, jadi saya belum banyak concern menanyakan progress akademisnya. Saya lebih tertarik mendengar cerita interaksinya dengan teman-teman, konflik yang dia hadapi dan caranya menyelesaikan, dan tentunya perasaannya sepulang dari sekolah.  Alhamdulillah, dari hari pertama sekolah hingga sekarang kelas 2 SD, kakak selalu antusias menceritakan segala cerita senang, sedih, sampai ngeselin 😀. Semoga sampai ABG dan dewasa nanti juga cerita terus sama Mama ya kak.

#hari1
#gamelevel1
#tantangan10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang